Sumber Daya Alam yang Tidak Dapat Diperbaharui: Pengertian hingga Prospek Masa Depan
ekor9.com. Sumber Daya Alam Tidak Terbarukan: Pengertian hingga Prospek Masa Depan. Kita sering kali berhadapan dengan peringatan dan himbauan untuk hemat listrik, hemat bahan bakar, dan sebagainya. Tapi, tidak semua orang memiliki kesadaran untuk mematuhi aturan tersebut.
Padahal, apabila kita berbicara tentang sumber daya, bumi tengah mengalami krisis yang cukup memprihatinkan. Sumber daya alam (SDA) yang tidak terbarukan semakin menipis karena tindakan eksploitasi yang fokus pada keuntungan, alih-alih nasib lingkungan yang berkelanjutan.

Sumur pengeboran minyak bumi – via : travelers.com
Daftar Isi :
Sumber Daya Alam Tidak Terbarukan
Lantas, apa yang akan terjadi? Simak selengkapnya!
A. Apa yang dimaksud dengan SDA tidak terbarukan?
Untuk memahami tentang SDA yang tidak terbarukan, kita tidak dapat mengartikannya secara harfiah. SDA tidak terbarukan atau sumber daya alam yang terbatas, merupakan zat atau komponen alami dengan jangka waktu pembentukan yang jauh lebih lambat dari kecepatan konsumsi. Setiap hari, manusia terus-menerus menggunakan cadangan zat-zat ini, sedangkan untuk mendapatkan persediaan baru, akan perlu waktu hingga ratusan atau ribuan tahun.
Sementara itu, terdapat oposisi berupa SDA terbarukan, yang terus mengisi kembali secara alami atau dapat bertahan dalam waktu yang cukup panjang. Misalnya, sinar matahari untuk panel tenaga surya, angin untuk menggerakkan turbin, dan kayu bakar yang eksistensinya dapat dikendalikan melalui reboisasi.
Contoh paling populer : yang mewakili SDA tidak terbarukan, yaitu bahan bakar fosil, seperti minyak mentah, gas alam, dan batu bara. Bahan bakar fosil berasal dari perut bumi, dan manusia mengekstraknya dalam bentuk gas, cair, atau padatan, untuk kemudian mentransformasikan zat tersebut menjadi energi atau produk lain, seperti plastik, poliuretan, atau pelarut.
B. Mengapa harus menggunakan SDA tidak terbarukan?
Seluruh bahan bakar fosil termasuk SDA tidak terbarukan, namun SDA tidak terbarukan bukan hanya terdiri dari bahan bakar fosil. Ada pula uranium, berupa logam berat yang diekstraksi sebagai padatan untuk dikonversi dalam pembangkit listrik tenaga nuklir.
Lantas, mengapa manusia harus menggunakan SDA tidak terbarukan untuk berbagai kepentingan?
Sebenarnya, masih ada alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. Namun, SDA tidak terbarukan cenderung bernilai ekonomis dengan proses penyimpanan, konversi, dan distribusi yang mudah dan murah. Karena itulah, bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi utama bagi dunia.

Penambangan batu bara – via : indearchipel.com
C. Apa saja jenia SDA yang tidak terbarukan?
Sebagian besar, SDA yang tidak terbarukan dibentuk oleh bahan organik yang mengalami pemanasan dan kompresi, sehingga lambat laun berubah wujud menjadi minyak mentah atau gas alam, yang kita kenal sebagai bahan bakar fosil.
Namun, istilah SDA tidak terbarukan juga merujuk pada mineral dan bijih logam, seperti emas, perak, dan besi, yang terbentuk oleh berbagai proses geologis dalam jangka panjang. Selain itu, ada pula jenis air tanah yang tergolong SDA tidak terbarukan, apabila pengisian ulang pada akuifer tidak sebanding dengan waktu pengurasannya.
D. Bagaimana nasib SDA tidak terbarukan di masa depan?
Berdasarkan prinsip dasar ekonomi mengenai penawaran dan permintaan, biaya untuk memperoleh SDA tidak terbarukan akan terus meningkat karena semakin langka dari waktu ke waktu. Dan, akan tiba masanya, pasokan terus menipis, sehingga harga melonjak pada titik yang tidak mampu diraih oleh konsumen.
Namun, haruskah kita menunggu waktu itu tiba, sementara dampak negatif dari penggunaan bahan bakar fosil telah nyata dalam pemanasan global dan kerusakan lingkungan?
Sayang sekali, kondisi yang terjadi masih berada dalam kuasa industri. Penerapan sumber energi alternatif terbilang lambat, dan bisa jadi terhambat, oleh berbagai konflik kepentingan di baliknya.
Di Amerika saja, pada tahun 2017, baru bisa memenuhi kebutuhan listrik dengan 6,3% tenaga angin dan 1,6% tenaga surya. Sementara nasib kendaraan listrik juga belum begitu baik, dan hanya memiliki pangsa pasar sekitar 2% pada tahun 2018.
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita siap menjadi pengubah arah angin yang lebih baik bagi bumi dan semesta?